Allahumma sholli
'alaa Sayyidina
Muhammadin thibbil quluubi
wa dawaa iha,
wa 'aafiyatil
abdani wa syifaa iha,
wanuuril abshoori
wa dhiyaa iha
wa 'ala aalihi
wa shohbihi wa sallim.
Artinya:
"Ya Allah curahkanlah rahmat kepada
junjungan kita Nabi Muhammad Shollallahu `alaihi Wa Sallam,
sebagai obat hati dan penyembuhnya,
penyehat badan dan kesembuhannya
dan sebagai penyinar penglihatan mata
beserta cahayanya
dan merupakan makanan pokok jasmani maupun rohani,
Semoga sholawat dan salam
tercurahkan pula kepada keluarga
serta para shahabat-shahabatnya."
Arti dan Makna Filosofi Ketupat di Tanah Jawa ketupat tidak lepas dari perayaan Idul Fitri. Dalam perayaan Idul Fitri, tentunya di situ ada satu hal yang tidak pernah pisah dari perayaan Ketupat Lebaran. Istilah tersebut telah menjamur di semua kalangan umat Islam terutama di pulau Jawa.
Ketupat atau kupat sangatlah identik dengan Hari Raya Idul Fitri. Buktinya saja di mana ada ucapan selamat Idul Fitri tertera gambar dua buah ketupat atau lebih. Apakah ketupat ini hanya sekedar pelengkap hari raya saja ataukah ada sesuatu makna di dalamnya?
Ketupat
Sejarah Ketupat. Adalah Kanjeng Sunan Kalijaga yang pertama kali memperkenalkan pada masyarakat Jawa. Sunan Kalijaga membudayakan 2 kali BAKDA, yaitu Bakda Lebaran dan Bakda Kupat. Bakda Kupat dimulai seminggu sesudah lebaran. Pada hari yang disebut BAKDA KUPAT tersebut, di tanah Jawa waktu itu hampir setiap rumah terlihat menganyam ketupat dari daun kelapa muda.
Setelah selesai dianyam, ketupat diisi dengan beras kemudian dimasak. Ketupat tersebut diantarkan ke kerabat yang lebih tua, sebagai lambang kebersamaan.
Arti Kata Ketupat
Dalam filosofi Jawa, ketupat lebaran bukanlah sekedar hidangan khas hari raya lebaran. Ketupat memiliki makna khusus. Ketupat atau kupat dalam bahasa Jawa merupakan kependekan dari Ngaku Lepat dan Laku Papat. Ngaku lepat artinya mengakui kesalahan. Laku papat artinya empat tindakan.
Ngaku Lepat
Tradisi sungkeman menjadi implementasi ngaku lepat (mengakui kesalahan) bagi orang Jawa. Prosesi sungkeman yakni bersimpuh di hadapan orang tua seraya memohon ampun, dan ini masih membudaya hingga kini. Sungkeman mengajarkan pentingnya menghormati orang tua, bersikap rendah hati, memohon keikhlasan dan ampunan dari orang lain, khusunya orang tua.
Laku Papat
Laku papat artinya empat tindakan dalam perayaan Lebaran. Empat tindakan tersebut adalah: 1. Lebaran. 2. Luberan. 3. Leburan. 4. Laburan.
Arti Lebaran, Luberan, Leburan dan Laburan
Lebaran Lebaran bermakna usai, menandakan berakhirnya waktu puasa. Berasal dari kata lebar yang artinya pintu ampunan telah terbuka lebar.
Luberan Bermakna meluber atau melimpah. Sebagai simbol ajaran bersedekah untuk kaum miskin. Pengeluaran zakat fitrah menjelang lebaran pun selain menjadi ritual yang wajib dilakukan umat Islam, juga menjadi wujud kepedulian kepada sesama manusia.
Leburan Maknanya adalah habis dan melebur. Maksudnya pada momen lebaran, dosa dan kesalahan kita akan melebur habis karena setiap umat Islam dituntut untuk saling memaafkan satu sama lain.
Laburan Berasal dari kata labur atau kapur. Kapur adalah zat yang biasa digunakan untuk penjernih air maupun pemutih dinding. Maksudnya supaya manusia selalu menjaga kesucian lahir dan batin satu sama lain.
Nah, itulah arti kata ketupat yang sebenarnya. Selanjutnya kita akan mencoba membahas filosofi dari ketupat itu sendiri.
Filosofi Ketupat: 1. Mencerminkan beragam kesalahan manusia. Hal ini bisa terlihat dari rumitnya bungkusan ketupat ini.
2. Kesucian hati. Setelah ketupat dibuka, maka akan terlihat nasi putih dan hal ini mencerminkan kebersihan dan kesucian hati setelah memohon ampunan dari segala kesalahan.
3. Mencerminkan kesempurnaan. Bentuk ketupat begitu sempurna dan hal ini dihubungkan dengan kemenangan umat Islam setelah sebulan lamanya berpuasa dan akhirnya menginjak Idul Fitri.
4. Karena ketupat biasanya dihidangkan dengan lauk yang bersantan, maka dalam pantun Jawa pun ada yang bilang “KUPA SANTEN“, Kulo Lepat Nyuwun Ngapunten (Saya Salah Mohon Maaf).
Itulah makna, arti serta filosofi dari ketupat.
Betapa besar peran para Wali dalam memperkenalkan agama Islam dengan menumbuhkembangkan tradisi budaya sekitar, seperti tradisi lebaran dan hidangan ketupat yang telah menjadi tradisi dan budaya hingga saat ini.
Secara umum ketupat berasal dan ada dalam banyak budaya di kawasan Asia Tenggara. Ketupat atau kupat adalah hidangan khas Asia Tenggara maritim berbahan dasar beras yang dibungkus dengan pembungkus terbuat dari anyaman daun kelapa (janur) yang masih muda. Ketupat paling banyak ditemui pada saat perayaan Lebaran, ketika umat Islam merayakan berakhirnya bulan puasa.
Makanan khas yang menggunakan ketupat, antara lain kupat tahu (Sunda), katupat kandangan (Banjar), Grabag (kabupaten Magelang), kupat glabet (Kota Tegal), coto makassar (dari Makassar, ketupat dinamakan Katupa), lotek, serta gado-gado yang dapat dihidangkan dengan ketupat atau lontong. Ketupat juga dapat dihidangkan untuk menyertai satai, meskipun lontong lebih umum.
Selain di Indonesia, ketupat juga dijumpai di Malaysia, Brunei, dan Singapura. Di Filipina juga dijumpai bugnoy yang mirip ketupat namun dengan pola anyaman berbeda.[1]
Ada dua bentuk utama ketupat yaitu kepal bersudut 7 (lebih umum) dan jajaran genjang bersudut 6. Masing-masing bentuk memiliki alur anyaman yang berbeda. Untuk membuat ketupat perlu dipilih janur yang berkualitas yaitu yang panjang, tidak terlalu muda dan tidak terlalu tua.
Di antara beberapa kalangan di Pulau Jawa, ketupat sering digantung di atas pintu masuk rumah sebagai semacam jimat. Ada masyarakat yang memegang tradisi untuk tidak membuat ketupat di hari biasa, sehingga ketupat hanya disajikan sewaktu lebaran dan hingga lima hari (Jawa, sepasar) sesudahnya. Bahkan ada beberapa daerah di Pulau Jawa yang hanya menyajikan ketupat di hari ketujuh sesudah lebaran saja atau biasa disebut dengan Hari Raya Ketupat.
Di pulau Bali, ketupat (di sana disebut kipat) sering dipersembahkan sebagai sesajian upacara. Selain untuk sesaji, di Bali ketupat dijual keliling untuk makanan tambahan yang setaraf dengan bakso, terutama penjual makanan ini banyak dijumpai di Pantai Kuta dengan didorong keliling di sana.
Tradisi ketupat (kupat) lebaran menurut cerita adalah simbolisasi ungkapan dari bahasa Jawa ku = ngaku (mengakui) dan pat = lepat (kesalahan) yang digunakan oleh Sunan Kalijaga dalam mensyiarkan ajaran Islam di Pulau Jawa yang pada waktu itu masih banyak yang meyakini kesakralan kupat. Asilmilasi budaya dan keyakinan ini akhirnya mampu menggeser kesakralan ketupat menjadi tradisi Islami ketika ketupat menjadi makanan yang selalu ada di saat umat Islam merayakan lebaran sebagai momen yang tepat untuk saling meminta maaf dan mengakui kesalahan.
“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang- orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.” (QS. Yunus : 62-63).
أُحِبَّهُ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِيْ يَسْمَعُ بِهِ ، وَبَصَرَهُ الَّذِيْ يُبْصِرُ بِهِ ، وَيَدَهُ الَّتِيْ يَبْطِشُ بِهَا ، وَرِجْلَهُ الَّتِيْ يَمْشِيْ بِهَا ، وَإِنْ سَأَلَنِيْ لَأُعْطِيَنَّهُ ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِـيْ لَأُعِيْذَنَّهُ».
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu ia berkata, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla berfirman, ’Barangsiapa memusuhi wali-KU, sungguh AKU mengumumkan perang kepadanya. Tidaklah hamba-KU mendekat kepada-KU dengan sesuatu yang lebih AKU cintai daripada hal-hal yang AKU wajibkan kepadanya. Hamba-KU tidak henti-hentinya mendekat kepada-KU dengan ibadah-ibadah sunnah hingga AKU mencintainya. Jika AKU telah mencintainya, AKU menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, menjadi penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, menjadi tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan menjadi kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia meminta kepada-KU, AKU pasti memberinya. Dan jika ia meminta perlindungan kepada-KU, AKU pasti melindunginya.’”
Bahwa Umar bin Khatthab berkata, Nabi saw. bersabda: "Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah terdapat beberapa manusia yang bukan para Nabi dan bukan orang-orang yang mati syahid. Para Nabi dan orang-orang yang mati syahid merasa iri kepada mereka pada hari Kiamat karena kedudukan mereka di sisi Allah Ta'ala."
Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah engkau akan menceritakan kepada kami siapakah mereka?”
Beliau bersabda: "Mereka adalah orang-orang yang saling mencintai dengan ruh dari Allah tanpa ada hubungan kekerabatan di antara mereka, dan tanpa adanya harta yang saling mereka berikan. Demi Allah, sesungguhnya wajah mereka adalah cahaya, dan sesungguhnya mereka berada di atas cahaya, tidak merasa takut ketika orang-orang merasa takut, dan tidak bersedih ketika orang-orang merasa bersedih." Dan beliau membaca ayat ini: "Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS. Yunus : 62)." (HR. Abu Dawud)
"Wahai sekalian manusia! Dengar, pahami dan ketahuilah bahwa Allah Azza wa Jalla memiliki hamba-hamba, mereka bukan para Nabi ataupun Syuhada’ (orang-orang yang mati syahid), akan tetapi para Nabi dan Syuhada’ merasa iri pada mereka karena tempat dan kedekatan mereka dengan Allah pada hari Kiamat". Kemudian, salah seorang Badui datang, dia berasal dari pedalaman jauh dan menyendiri, dia menunjuk tangannya ke arah Nabi saw. seraya berkata: “Wahai Nabi Allah! Sekelompok orang yang bukan para Nabi ataupun Syuhada’ tetapi para Nabi dan Syuhada’ merasa iri kepada mereka karena kedudukan dan kedekatan mereka dengan Allah, sebutkan ciri-ciri mereka untuk kami?”
Wajah Rasulullah saw. bergembira karena pertanyaan orang Badui itu, lalu Rasulullah saw. bersabda: "Mereka adalah orang-orang yang berasal dari berbagai penjuru dan orang-orang asing, diantara mereka tidak dihubungkan oleh kekerabatan yang dekat, mereka saling mencintai karena Allah dan saling tulus ikhlas, Allah menempatkan untuk mereka mimbar-mimbar dari cahaya pada hari Kiamat, Allah mendudukan mereka diatasnya, Allah menjadikan wajah-wajah mereka bercahaya, pakaian-pakaian mereka bercahaya, orang-orang ketakutan pada hari Kiamat sementara mereka tidak ketakutan, mereka adalah para wali-wali Allah yang tidak takut dan tidak bersedih hati." (HR. Ahmad)
"Sesungguhnya riya yang paling ringan pun sudah terhitung syirik, dan sesungguhnya orang yang memusuhi Wali Allah maka dia telah menantang bertarung dengan Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang baik lagi bertakwa dan tidak dikenal, yaitu orang-orang yang apabila menghilang maka mereka tidak dicari-cari, dan jika mereka hadir maka mereka tidak dikenal, hati mereka ibarat lentera-lentera petunjuk yang muncul dari setiap bumi yang gelap." (HR. Ibnu Majah)
"Sesungguhnya wali-wali yang terbaik menurutku adalah orang mukmin yang ringan kondisinya (miskin), gemar mendirikan shalat, beribadah kepada Rabb-nya dengan baik, menaati-Nya dikala sepi, tidak dikenali orang, tidak ditunjuk dengan jari (jumlahnya sedikit), rezekinya pas-pasan lalu dia selalu bersabar dengan kondisinya". Setelah itu, beliau mematok-matokkan tangannya seraya bersabda: "Kematiannya dipercepat, sedikit orang yang menangisi kematiannya dan harta warisannya pun sedikit." (HR. Tirmidzi)
AMALAN-AMALAN YANG PALING BISA MENDEKATKAN KEPADA ALLAH
Ibadah-ibadah wajib dan sunnah yang paling mendekatkan kepada Allâh Azza wa Jalla ialah mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allâh Azza wa Jalla , mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa, sedekah dan lain sebagainya termasuk banyak membaca al-Qur'ân, mendengarkannya, merenungkannya serta berusaha memahaminya. Khabbâb bin al-Art Radhiyallahu anhu mengatakan, ”Mendekatlah kepada Allâh sesuai dengan kemampuanmu. Ketahuilah, engkau tidak dapat mendekat kepada-Nya dengan sesuatu yang lebih Dia cintai daripada firman-Nya (al-Qur'ân).”[13]
Bagi orang yang mencintai Allâh Azza wa Jalla tidak ada yang lebih manis daripada membaca al-Qur'ân. Utsmân bin ’Affân Radhiyallahu anhu berkata, ”Jika hati kalian bersih, kalian tidak akan pernah kenyang dengan firman Rabb kalian.”
Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata, ”Barangsiapa mencintai al-Qur'ân berarti ia mencintai Allâh dan Rasul-Nya.”[14]
Ibadah sunnah lainnya yang dapat mendekatkan kepada Allâh ialah banyak berdzikir dengan hati dan lisan. Dan diantara ibadah-ibadah sunnah lainnya yang lebih mendekatkan kepada Allâh ialah mencintai para wali Allâh dan orang-orang yang dicintai-Nya dan memusuhi para musuh-Nya karena-Nya.[15]
• Firman Allâh Azza wa Jalla (dalam hadits di atas), yang artinya, "Jika Aku telah mencintainya, Aku menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, menjadi penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, menjadi tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan menjadi kakinya yang ia gunakan untuk berjalan."
FAWAA-ID HADITS
1. Mengerjakan yang wajib lebih didahulukan daripada yang sunnah.
2. Amal-amal yang wajib lebih utama dari amal yang sunnah.
3. Amal-amal sunnah dapat menutupi kekurangan amal wajib.
4. Di antara sebab mendapatkan cinta Allâh adalah melaksanakan amalan wajib dan sunnah.
5. Menetapkan sifat mahabbah (cinta) bagi Allâh.
6. Wali Allâh adalah orang yang beriman dan bertakwa, yang melaksanakan amalan wajib dan sunnah, serta meninggalkan yang diharamkan Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
7. Ancaman bagi orang yang memusuhi para wali Allâh.
8. Orang yang memusuhi wali-wali Allâh, dengan mengolok, mengganggu, menyiksa, menyakiti atau membenci mereka, dia akan mendapat siksa di dunia dan akhirat.
9. Seorang hamba –betapapun tinggi derajatnya-, dia tidak boleh berhenti berdo’a, memohon kepada Allâh, karena yang demikian lebih menampakkan kehinaan dan kerendahan kepada Allâh.
10. Mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla dengan amalan wajib dan sunnah sebagai sebab terkabulkannya do’a, dijaga dan dilindungi oleh Allâh Azza wa Jalla .
11. Di antara para wali Allâh, ada yang diberi karamah (kemuliaan) dengan do’anya mustajab, dijaga, dilindungi oleh Allâh Azza wa Jalla dan karamah lainnya.
12. Dalam hadits ini tidak ada sedikitpun dalil atau hujjah bagi kelompok sesat yang berpendapat bahwa Allâh menyatu dalam diri manusia.
13. Derajat kenabian dan kerasulan lebih tinggi di sisi Allâh daripada derajat wali.
14. Kematian adalah sesuatu yang pasti. Semua yang bernyawa pasti mati.
Kita wajib menetapkan semua nama-nama dan sifat-sifat Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Semua nama-nama dan sifat-sifat Allâh itu tidak sama dengan nama dan sifat makhluk-Nya. Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, "Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. Dan Dia yang Maha Mendengar, Maha Melihat.” (asy-Syûra/42:11).
15. Allâh Azza wa Jalla telah menetapkan kematian wali-Nya dan itu pasti terjadi, meskipun demikian Allâh Azza wa Jalla juga tidak ingin menyusahkan wali-Nya. Inilah yang dinamakan taraddud.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XIV/1431H/2010. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
Mereka selalu terhindar ketika ada bencana.
Dari Ibnu Umar ra, katanya:
Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya Allah mempunyai hamba-hamba yang diberi makan dengan rahmatNya dan diberi hidup dalam afiyahNya, jika Allah mematikan mereka, maka mereka akan dimasukkan ke dalam syurgaNya. Segala bencana yang tiba akan lenyap secepatnya di hadapan mereka, seperti lewatnya malam hari di hadapan mereka, dan mereka tidak terkena sedikitpun oleh bencana yang datang.”18
18 Hadis riwayat Abu Nu’aim dalam kitab Al Hilya jilid I hal 6
Hati mereka selalu terkait kepada Allah.
Imam Ali Bin Abi Thalib berkata kepada Kumail An Nakha’i: “Bumi ini tidak akan kosong dari hamba-hamba Allah yang menegakkan agama Allah dengan penuh keberanian dan keikhlasan, sehingga agama Allah tidak akan punah dari peredarannya. Akan tetapi, berapakah jumlah mereka dan dimanakah mereka berada? Kiranya hanya Allah yang mengetahui tentang mereka. Demi Allah, jumlah mereka tidak banyak, tetapi nilai mereka di sisi Allah sangat mulia. Dengan mereka, Allah menjaga agamaNya dan syariatNya, sampai dapat diterima oleh orang-orang seperti mereka. Mereka menyebarkan ilmu dan ruh keyakinan. Mereka tidak suka kemewahan, mereka senang dengan kesederhanaan. Meskipun tubuh mereka berada di dunia, tetapi rohaninya membumbung ke alam malakut. Mereka adalah khalifah-khalifah Allah di muka bumi dan para da’I kepada agamaNya yang lurus. Sungguh, betapa rindunya aku kepada mereka.”19
19 Nahjul Balaghah hal 595 dan Al Hilya jilid 1 hal. 80
Mereka suka menangis dan mengingat Allah.
‘Iyadz ibnu Ghanam menuturkan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah saw bersabda: “Malaikat memberitahu kepadaku: “Sebaik-baik umatku berada di tingkatan-tingkatan tinggi. Mereka suka tertawa secara terang, jika mendapat nikmat dan rahmat dari Allah, tetapi mereka suka menangis secara rahsia, kerana mereka takut mendapat siksa dari Allah. Mereka suka mengingat Tuhannya di waktu pagi dan petang di rumah-rumah Tuhannya. Mereka suka berdoa dengan penuh harapan dan ketakutan. Mereka suka memohon dengan tangan mereka ke atas dan ke bawah. Hati mereka selalu merindukan Allah. Mereka suka memberi perhatian kepada manusia, meskipun mereka tidak dipedulikan orang.Mereka berjalan di muka bumi dengan rendah hati, tidak congkak, tidak bersikap bodoh dan selalu berjalan dengan tenang. Mereka suka berpakaian sederhana. Mereka suka mengikuti nasihat dan petunjuk Al Qur’an. Mereka suka membaca Al Qur’an dan suka berkorban. Allah suka memandangi mereka dengan kasih sayangNya. Mereka suka membahagikan nikmat Allah kepada sesama mereka dan suka memikirkan negeri-negeri yang lain. Jasad mereka di bumi, tapi pandangan mereka ke atas. Kaki mereka di tanah, tetapi hati mereka di langit. Jiwa mereka di bumi, tetapi hati mereka di Arsy. Roh mereka di dunia, tetapi akal mereka di akhirat. Mereka hanya memikirkan kesenangan akhirat. Dunia dinilai sebagai kubur bagi mereka. Kubur mereka di dunia, tetapi kedudukan mereka di sisi Allah sangat tinggi. Kemudian beliau menyebutkan firman Allah yang artinya:“Kedudukan yang setinggi itu adalah untuk orang-orang yang takut kepada hadiratKu dan yang takut kepada ancamanKu.”21
21 Hadis riwayat Abu Nu’aim dalam Hilya jilid I, hal 16
Jika mereka berkeinginan, maka Allah memenuhinya.
Dari Anas ibnu Malik ra berkata: “Rasul saw bersabda:“Berapa banyak manusia lemah dan dekil yang selalu dihina orang, tetapi jika ia berkeinginan, maka Allah memenuhinya, dan Al Barra’ ibnu Malik, salah seorang di antara mereka.”
Dari Abu Umamah ra, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “berfirman Allah Yang Maha Besar dan Agung: “Diantara para wali-Ku di hadhirat-Ku, yang paling menerbitkan iri-hati ialah si mu’min yang kurang hartanya, yang menemukan nasib hidupnya dalam shalat, yang paling baik ibadat kepada Tuhannya, dan taat kepada-Nya dalam keadaan tersembunyi maupun terang. Ia tak terlihat di antara khalayak, tak tertuding dengan telunjuk. Rezekinya secukupnya, tetapi iapun sabar dengan hal itu. Kemudian Beliau shallallahu alaihi wasallam menjentikkan jarinya, lalu bersabda: ”Kematiannya dipercepat, tangisnya hanya sedikit dan peninggalannya amat kurangnya”. (HR. At Tirmidzi, Ibn Majah, Ibn Hanbal)”.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra bahwa“Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Ada tiga sifat yang jika dimiliki oleh seorang, maka ia akan menjadi wali Allah, iaitu: pandai mengendalikan perasaannya di saat marah, wara’ dan berbudi luhur kepada orang lain.” (Hadis riwayat Ibnu Abi Dunya di dalam kitab Al Auliya’)“
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Wahai Abu Hurairah, berjalanlah engkau seperti segolongan orang yang tidak takut ketika manusia ketakutan di hari kiamat. Mereka tidak takut siksa api neraka ketika manusia takut. Mereka menempuh perjalanan yang berat sampai mereka menempati tingkatan para nabi. Mereka suka berlapar, berpakaian sederhana dan haus, meskipun mereka mampu. Mereka lakukan semua itu demi untuk mendapatkan redha Allah. Mereka tinggalkan rezeki yang halal karena akan amanahnya. Mereka bersahabat dengan dunia hanya dengan badan mereka, tetapi mereka tidak tertipu oleh dunia. Ibadah mereka menjadikan para malaikat dan para nabi sangat kagum. Sungguh amat beruntung mereka, alangkah senangnya jika aku dapat bertemu dengan mereka.” Kemudian Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menangis karena rindu kepada mereka. Dan beliau bersabda: “Jika Allah hendak menyiksa penduduk bumi, kemudian Dia melihat mereka, maka Allah akan menjauhkan siksaNya. Wahai Abu Hurairah, hendaknya engkau menempuh jalan mereka, sebab siapapun yang menyimpang dari penjalanan mereka, maka ia akan mendapati siksa yang berat”. (Hadis riwayat Abu Hu’aim dalam kitab Al Hilya)
Dalam hadits Qudsi, “Allah berfirman yang artinya: “Para Wali-Ku itu ada dibawah naungan-Ku, tiada yang mengenal mereka dan mendekat kepada seorang wali, kecuali jika Allah memberikan Taufiq HidayahNya”
Abu Yazid al Busthami mengatakan: “Para wali Allah merupakan pengantin-pengantin di bumi-Nya dan takkan dapat melihat para pengantin itu melainkan ahlinya“.
Sahl Ibn ‘Abd Allah at-Tustari ketika ditanya oleh muridnya tentang bagaimana (cara) mengenal Waliyullah, ia menjawab: “Allah tidak akan memperkenalkan mereka kecuali kepada orang-orang yang serupa dengan mereka, atau kepada orang yang bakal mendapat manfaat dari mereka – untuk mengenal dan mendekat kepada-Nya.”
Para Wali Allah ini,mengingatkan akan lagunya Dewa 19 yaitu SATU :
aku ini adalah diri-MU
cinta ini adalah cinta-MU
aku ini adalah diri-MU
jiwa ini adalah jiwa-MU
rindu ini adalah rindu-MU
darah ini adalah darah-MU
tak ada yang lain selain diri-MU yang selalu kupuja
kusebut nama-MU di setiap hembusan nafasku
kusebut nama-MU..... kusebut Nama-MU.....
dengan tangan-MU aku menyentuh
dengan kaki-MU aku berjalan
dengan mata-MU aku memandang
dengan telinga-MU aku mendengar
dengan lidah-MU aku bicara
dengan hati-MU aku merasa
tak ada yang lain selain diri-MU yang selalu kupuja
kusebut Nama-MU di setiap hembusan nafasku
kusebut Nama-MU..... Kusebut Nama-MU.....
tak ada yang lain selain diri-MU yang selalu kupuja
kusebut Nama-MU di setiap hembusan nafasku
kusebut Nama-MU..... kusebut Nama-MU.....
tak ada yang lain selain diri-MU yang selalu kupuja
kusebut Nama-MU di setiap hembusan nafasku
kusebut Nama-MU..... kusebut Nama-MU.....
KH Chamim Tohari Jazuli, akrab dipanggil Gus Miek
lahir di Kediri, Jawa Timur, 17 Agustus 1940
meninggal di Surabaya, Jawa Timur, 5 Juni 1993 pada umur 52 tahun.
Al-Maghfurlah Al-Mukarrom Kyai Chamim Djazuli (Gus Miek) adalah pendiri Majelis Sema’an Al-Qur’an JANTIKO MANTAB dan Mursyid Tunggal Dzikrul Ghofilin.
Gus Miek adalah pencipta DOA SYAIR PANGGIRING ATI yang dibaca setelah doa akhir wirid DZIKRUL GHOFILIN atau sebelum DOA KHOTMIL QUR’AN.
Doa Syair DZIKRUL GHOFILIN
( Pengingat Mereka Yang Lupa )
“ Panggiring Ati “
Amin Ya Alloh, Ya Rohman, Ya Rohim. Antal Jawadul Halim, wa Anta Ni’mal Mu’in
(Kabulkan doa kami Ya Allah, Wahai Dzat Yang Maha Pengasih, Wahai Dzat Yang Maha Penyayang. Engkau lah Dzat Yang Maha Penyantun dan Engkau lah Sebaik-baik Dzat Yang Maha Memberikan Pertolongan)
Bait : 1 Ya Halim, Ya Hanan, Ya Maliku, Ya Mubin. Wala nathlubu syai’an illa Anta Ya Mu’in
(Wahai Dzat Yang Maha Pemurah, Wahai Dzat Yang Maha Pengasih, Wahai Dzat Yang Maha Merajai, Wahai Dzat Yang Maha Nyata. Tiada sesuatu pun yang kami cari, kecuali Engkau Wahai Dzat Yang Maha Memberi Pertolongan)
Bait : 2 Robbanastaqim dzikrona wa Dzikrol Ghofilin. Wajma’na fil abrori khiyarikal faizin
(Wahai Tuhan kami, istiqomahkan kami dalam selalu mengingat-Mu, dan dalam mengamalkan Dzikrul Ghofilin. Serta kumpulkan beserta orang-orang yang baik, yakni orang-orang pilihan-Mu yang beruntung)
Bait : 3 Syakawnaka robbana babadu’ fi nafsina. Litaghfirona ghoffaru wa lituhsinana
(Wahai Tuhan kami, kami adukan segala kelemahan diri kami ke haribaan-Mu. Agar kami mendapatkan ampunan-Mu, Wahai Dzat Yang Maha Menyukai & Memberikan Ampunan, dan agar Engkau beri kami kekuatan untuk selalu dalam keadaan lebih baik)
Bait : 4 Bidawamil ma’rifati adim liqo-ana. Bihadrotika Ilahana Ya Ilahana
(Dengan terus menerusnya ma'rifat mengenal-Mu, semoga Engkau kekalkan pertemuan kami di haribaan-Mu, Wahai Gusti Tuhan kami, Ya Alloh Tuhan kami)
Bait : 5 Sa-alnaka istiqomata fi tadzakurik, wastiqomatana fi tasyakuri ni’amik
(Kami memohon kepada-Mu agar istiqomah dalam mengingat Diri-Mu, dan agar istiqomah dalam mensyukuri segala nikmat-nikmat karunia-Mu)
Bait : 6 Ya Karim, Ya Karim, an’imna bi ni’matik. Ya Arhamar Rohimin, irhamna bi rohmatik
(Wahai Dzat Yang Maha Mulia, Wahai Dzat yang Maha Mulia, berilah kami kenikmatan dengan karunia-Mu. Wahai Dzat yang Maha Penyayang, sayangilah kami dengan kasih sayang-Mu)
Bait : 7 Ya Lathifu Ya Khobir, najinna minal ihan. Ya Qowwiyu Ya Matin, anjina minal mihan
(Wahai Dzat Yang Maha Lembut, Wahai Dzat Yang Maha Waspada, selamatkanlah kami dari berbagai bencana. Wahai Dzat Yang Maha Kuat, Wahai Dzat Yang Maha Kokoh, selamatkanlah kami dari segala musibah)
Bait : 8 Ya Jalilu bi Jalalika asbitil iman. Robbana khoiril munzilina anzilil minan
(Wahai Dzat Yang Maha Mulia, dengan sebab kemuliaan-Mu, tetapkanlah iman kami. Wahai Dzat yang Maha Baik dalam menurunkan sesuatu hal-nya, turunkanlah kepada kami berbagai karunia)
Bait : 9 Robbana ahsin lana dzohiron wa bathinan, ma’a khusnidzoni bi hadrotika Ya Manan
(Wahai Tuhan Pembimbing kami, perbaikilah lahir batin kami, beserta sikap baik sangka kepada-Mu, Wahai Dzat Yang Maha Memiliki Karunia)
Bait : 10 Pangeran Panjenengan dandosi kula niki, lahir batin sarono manah sae kang suci
(Duh Gusti, perbaikilah aku ini, secara lahir dan batin dengan hati yang baik dan suci)
Bait : 11 Wa Ya ‘Alimu a’thilana ‘ilman mu’malan, wa li ro’iyatina ‘ilman yudkhilul jinnan
(Wahai Dzat Yang Maha Berilmu, anugerahilah kami ilmu yang ter-amalkan. Dan juga anugerahilah rakyat/umat dengan ilmu yang menjadikan kami semua masuk ke dalam surga-surga)
Bait : 12 AL-QUR’AN kalamulloh, kalamullohil Hanan, wa adkhilna bi dzalika farodi saljinan
(AL-QUR’AN adalah firman ALLAH, firman ALLAH Yang Maha Belas Kasih, dan semoga dengan-nya (AL-QUR’AN) Engkau masukkan kami ke dalam surga Firdaus)
Bait : 13 Bijudika Ya Jawwad, Ya Wahidu, Ya Shomad, ij’alna minal faizina fauzan fil abad
(Dengan kesantunan-Mu Wahai Dzat Yang Maha Memberi, Wahai Dzat Yang Maha Esa, Wahai Dzat Maha Tempat bergantung, jadikanlah kami ke dalam golongan orang-orang yang beruntung selama-lamanya)
Bait : 14 Ya Hafidzu, Ya Nashir, Ya Wakilu, Ya Alloh, bariklana walahum ajma’ina Ya Alloh
(Wahai Dzat Yang Maha Menjaga, Wahai Dzat Yang Maha Menolong, Wahai Dzat Yang Maha Mengurus, Wahai Allah, berkahilah kami dan mereka semua Ya Allah)
Bait : 15 Ya Sami’u, Ya Bashir, Ya Wajidu, Ya Ahad, sa-alnaka ni’matan la tuhso Antal ma’ad
(Wahai Dzat Yang Maha Mendengar, Wahai Dzat yang Maha Melihat, Wahai Dzat Yang Maha Pecinta, Wahai Dzat Yang Maha Esa, kami bermohon kepada-Mu akan kenikmatan yang tiada batas, Engkau-lah Tempat kembali)
Bait : 16 Wa Anta Shohibu kun fayakun idza arodta,syai’an wujudahu Anta Muridul Murod
(Dan Engkau-lah Pemilik KUN (jadilah) FAYAKUN (maka terjadilah) saat Diri-Mu menginginkan terwujudnya segala sesuatu, sungguh hakekatnya Engkaulah Dzat Yang Maha Menginginkan segala sesuatu yang diinginkan)
Bait : 17 Ya Ghoniyyu, Ya Hamidu, wa Ya Rozaqu qod, rowja’na salamatana fi daroini fa qod
(Wahai Dzat Yang Maha Kaya, Wahai Dzat Yang Maha Terpuji, Wahai Dzat yang Maha Memberi Rizki, yang kami dambakan hanyalah keselamatan dunia dan akhirat kami)
Bait : 18 Bismikal ‘adhimi hassil jami’a ma qoshshod, nahu min dzikrika wa tasyakuri fil awqod
(Dengan nama-Mu Yang Maha Agung, berhasilkanlah segala hal yang menjadi keinginan-keinginan kami, yakni keinginan untuk mengingat-Mu dan setiap saat dapat mensyukuri-Mu)
Bait : 19 Ya ‘Aliyyu, Ya ‘Adhimu, Ya Qohharu bifadhlika sallima minal ahwali wal afat
(Wahai Dzat Yang Maha Luhur, Wahai Dzat Yang Maha Agung, Wahai Dzat Yang Kuasa Untuk Memaksa, dengan keutamaan sifat Kasih Sayang-Mu selamatkanlah kami dari segala kesulitan dan bencana)
Bait : 20 Ya Salam, Ya Salamu, Ya Qodhiyal hajat, Ya Rofi’ irfa’na ‘indaka a’lad darojat
(Wahai Dzat Yang Maha Memberi Kedamaian, Wahai Dzat Yang Maha Memberi Ketentraman, Wahai Dzat Yang Maha Menunaikan segala hajat , Wahai Dzat Yang Maha Meninggikan, tinggikanlah kami di sisi-Mu dengan derajat yang setinggi-tingginya)
Bait : 21 Ya Awwalu, Ya Akhiru, sa-alnaka bi’adhlika ridho-an makrunan bi khusnil i’tiqod
(Wahai Dzat Yang Maha Awal, Wahai Dzat Yang Maha Akhir, kami memohon dengan sifat Maha Adil-Mu, berupa keridhoan disertai keyakinan yang baik)
Bait : 22 Robbi Robbal ‘Izzati, qina minal mufsidat, salimna minal ahwali wa minal muhlikat
(Wahai Tuhanku, Tuhan Pembimbing Yang Maha Memiliki Kemuliaan, selamatkanlah kami dari berbagai macam kerusakan,selamatkanlah kami dari berbagai kesulitan dan pengrusakan)
Bait : 23 Laqod haqqo qowlukal maktubi fi Furqonik, man ‘arofaka bijiddin lafi jannatik
(Telah begitu Nyata Haq Kebenaran firman-Mu yang tertulis dalam furqon (Al Qur'an)-Mu. Barangsiapa sungguh mengenal-Mu, maka sungguh ia akan menghuni surga-Mu.)
Bait : 24 Bijahin Nabi shollallahu wasallama, ‘alaihi wa ‘alindama wal hamdulil ahad
(Semua ini dikarenakan dengan sebab Nabi Muhammad, yang semoga Tuhan memberi anugerah dan keselamatan baginyabeserta keluarganya selamanya, dan akhirnya segala puji bagi Dzat Yang Maha Esa)
Amin Ya Alloh, Ya Rohman, Ya Rohim. Antal Jawadul Halim wa Anta Ni’mal Mu’in
(Kabulkan doa kami Ya Allah, Wahai Dzat Yang Maha Pengasih, Wahai Dzat Yang Maha Penyayang. Engkau lah Dzat YangMaha Penyantun dan Engkau lah Sebaik-baik Dzat Yang Maha Memberikan Pertolongan)
Robbananfa’na bi barokatihi
(Ya Tuhan,berilah kami manfaat dikarenakan berkah yang Engkau limpahkan kepadanya)
Robbanajma’na fi zumrotihi
(Ya Tuhan, kumpulkankanlah kami ke dalam golongan orang-orang saleh sebagaimana halnya dengan dirinya)
Sumber : Mas Wibie M
NB:
Majelis Sema’an Al Qur’an Dan Dzikrul Ghofilin “ Jantiko Mantab “ :
Alamat : Ndalem Gus Miek,Ploso,Mojo,Kediri – Jawa Timur
KH Muhammad Zaini bin Abdul Ghani al-Banjari
lahir di Tunggul Irang, Martapura, 11 Februari 1942
meninggal di Martapura, 10 Agustus 2005 pada umur 63 tahun
Salah satu pesan Guru Sekumpul adalah tentang karamah, yakni
agar kita jangan sampai tertipu dengan segala keanehan dan keunikan.
Karena bagaimanapun juga karamah adalah anugrah, murni pemberian, bukan
suatu keahlian atau skill. Karena itu jangan pernah berpikir atau
berniat untuk mendapatkan karamah dengan melakukan ibadah atau
wiridan-wiridan.
Dan karamah yang paling mulia dan tinggi nilainya
adalah istiqamah di jalan Allah itu sendiri. Kalau ada orang mengaku
sendiri punya karamah tapi salatnya tidak karuan, maka itu bukan
karamah, tapi bakarmi (orang yang keluar sesuatu dari duburnya).
Guru Sekumpul juga sempat memberikan beberapa pesan kepada seluruh masyarakat Islam, yakni:
Menghormati ulama dan orang tua
Baik sangka terhadap muslimin
Murah harta
Manis muka
Jangan menyakiti orang lain
Mengampunkan kesalahan orang lain
Jangan bermusuh-musuhan
Jangan tamak atau serakah
Berpegang kepada Allah, pada kabul segala hajat
Yakin keselamatan itu pada kebenaran.
Sumber :
http://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Zaini_Abdul_Ghani
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ زَارَ قَبْرِيْ وَجَبَتْ لَهُ شَفَاعَتِيْ
“Barang siapa yang berziarah ke kuburku,
maka wajib baginya mendapat syafaatku”.
(HR Ad Daruquthni)
Hadits Riwayat Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu’anhu, ia berkata:
Seorang lelaki datang kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam dan berkata:
"Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang seseorang yang mencintai suatu kaum namun dia belum dapat bertemu dengan mereka?"
Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam menjawab:
"Seorang akan bersama orang yang dicintai"
(Hadits Shahih Muslim : 2640-165)
Yaa Allah...
Semoga keluarga,kerabat,sahabat2ku,
jamaah serta santri2 Pengajian Mujahadah Al Fatah...
diberikan pertolongan bisa berziarah ke Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam.
Aamiin
Naqsyabandiyah merupakan salah satu tarekat sufi yang paling luas penyebarannya, dan terdapat banyak di wilayah Asia Muslim (meskipun sedikit di antara orang-orang Arab) serta Turki, Bosnia-Herzegovina, dan wilayah Volga Ural.
Bermula di Bukhara pada akhir abad ke-14, tarekat Naqsyabandiyah mulai menyebar ke daerah-daerah tetangga dunia Muslim dalam waktu seratus tahun. Perluasannya mendapat dorongan baru dengan munculnya cabang Mujaddidiyah, dinamai menurut nama Syaikh Ahmad Sirhindi Mujaddidi Alf-i Tsani ("Pembaru Milenium kedua", w. 1624). Pada akhir abad ke-18, nama ini hampir sinonim dengan tarekat tersebut di seluruh Asia Selatan, wilayah Utsmaniyah, dan sebagian besar Asia Tengah. Ciri yang menonjol dari Tarekat Naqsyabandiyah adalah diikutinya syari'at secara ketat, keseriusan dalam beribadah menyebabkan penolakan terhadap musik dan tari, serta lebih mengutamakan berdzikir dalam hati, dan kecenderungannya semakin kuat ke arah keterlibatan dalam politik (meskipun tidak konsisten).
Dzikir dan Wirid
Teknik dasar Naqsyabandiyah, seperti kebanyakan tarekat lainnya, adalah dzikir yaitu berulang-ulang menyebut nama Tuhan ataupun menyatakan kalimat la ilaha illallah. Tujuan latihan itu ialah untuk mencapai kesadaran akan Tuhan yang lebih langsung dan permanen. Pertama sekali, Tarekat Naqsyabandiyah membedakan dirinya dengan aliran lain dalam hal dzikir yang lazimnya adalah dzikir diam (khafi, "tersembunyi", atau qalbi, " dalam hati"), sebagai lawan dari dzikir keras (jahri) yang lebih disukai tarekat-tarekat lain. Kedua, jumlah hitungan dzikir yang mesti diamalkan lebih banyak pada Tarekat Naqsyabandiyah daripada kebanyakan tarekat lain.
Dzikir dapat dilakukan baik secara berjama'ah maupun sendiri-sendiri. Banyak penganut Naqsyabandiyah lebih sering melakukan dzikir secara sendiri-sendiri, tetapi mereka yang tinggal dekat seseorang syaikh cenderung ikut serta secara teratur dalam pertemuan-pertemuan di mana dilakukan dzikir berjama'ah. Di banyak tempat pertemuan semacam itu dilakukan dua kali seminggu, pada malam Jum'at dan malam Selasa; di tempat lain dilaksanakan tengah hari sekali seminggu atau dalam selang waktu yang lebih lama lagi.
Secara keseluruhan, ajaran tarekat Naqsyabandiyah terdiri dari 17 tingkat mata pelajaran. Ke-17 tingkat mata pelajaran tersebut adalah;
1. Dzikir Ismu Dzat: "mengingat yang Haqiqi"
Pengucapan asma Allah berulang-ulang dalam hati, ribuan kali (dihitung dengan tasbih), sambil memusatkan perhatian kepada Allah semata.
2. Dzikir Latha'if: "mengingat Asma Allah pada tujuh titik halus pada tubuh"
Seseorang yang berdzikir memusatkan kesadarannya (dan membayangkan nama Allah itu bergetar dan memancarkan panas) berturut-turut pada tujuh titik halus pada tubuh. Titik-titik ini, lathifah (jamak latha'if), adalah;
- qalb (hati), terletak selebar dua jari di bawah puting susu kiri
- ruh (jiwa), selebar dua jari di bawah puting susu kanan
- sirr (nurani terdalam), selebar dua jari di atas puting susu kiri
- khafi (kedalaman tersembunyi), dua jari di atas puting susu kanan
- akhfa (kedalaman paling tersembunyi), di tengah dada
- nafs nathiqah (akal budi), di otak belahan pertama
- kullu jasad, luasnya meliputi seluruh tubuh, bila seseorang telah mencapai tingkat dzikir yang sesuai dengan lathifah terakhir ini, seluruh tubuh akan bergetar dalam Asma Allah.
3. Dzikir Nafi Itsbat: "mengingat keesaan"
Bacaan perlahan disertai dengan pengaturan nafas, kalimat La Ilaha Illallah, yang dibayangkan seperti menggambar jalan (garis) melalui tubuh. Bunyi La permulaan digambar dari daerah pusar terus ke hati sampai ke ubun-ubun. Bunyi Ilaha turun ke kanan dan berhenti pada ujung bahu kanan. Di situ, kata berikutnya, Illa dimulai dengan turun melewati bidang dada, sampai ke jantung, dan ke arah jantung inilah kata Allah di hujamkan dengan sekuat tenaga. Orang membayangkan jantung itu mendenyutkan nama Allah dan membara, memusnahkan segala kotoran.
4. Dzikir Wuquf: "diam dengan semata-mata mengingat Allah"
Mengingat Dzat Allah yang bersifat dengan segala sifat sempurna dan suci, atau jauh dari segala sifat kekurangan. Dzikir Wuquf ini dirangkaikan setelah selesai melaksanakan dzikir Ismu Dzat atau dzikir Latha'if, atau dzikir Nafi Itsbat. Pelaksanaan dzikir Wuquf ini sebelum menutup dzikir-dzikir tersebut.
5. Dzikir Muraqabah Ithla'
Seseorang berdzikir dan ingat kepada Allah SWT bahwa Ia mengetahui keadaan-keadaannya dan melihat perbuatan-perbuatannya, serta mendengar perkataan-perkataannya.
6. Dzikir Muraqabah Ahadiyatul Af’al
Berkekalannya seorang hamba menghadap serta memandang Allah SWT yang memiliki sifat sempurna serta bersih dari segala kekurangan, serta Maha Berkehendak.
7. Dzikir Muraqabah Ma’iyah
Berkekalannya seorang hamba yang bertawajjuh serta memandang kepada Allah SWT yang mengintai di mana saja hamba itu berada.
8. Dzikir Muraqabah Aqrabiyah
Keadaan mengingat betapa dekatnya Allah dengan hamba-Nya.
9. Dzikir Muraqabah Ahadiyatuzzati
Mengingat sifat Allah yang esa dan menjadi tempat bergantungnya segala sesuatu.
10. Dzikir Muraqabah Zatissyarfi wal Bahti
Berkaitan dengan sumber timbulnya kesempurnaan kenabian, kerasulan dan ‘ulul azmi, yakni dari Allah semata.
11. Maqam Musyahadah
Kondisi di mana seseorang berdzikir seolah-olah dalam tahap berpandang-pandangan dengan Allah.
12. Maqam Mukasyafah
Kondisi di mana seolah terbuka rahasia ketuhanan bagi seseorang yang berdzikir. Bila berdzikir pada maqam ini dilaksanakan dengan baik, sempurna, dan ikhlas, maka seorang hamba akan memperoleh hakikat kasyaf dan rahasia-Nya.
13. Maqam Muqabalah
Dalam tahap berhadap-hadapan dengan wajah Allah yang wajibul wujud.
14. Maqam Mukafahah
Tahap ruhaniah seseorang yang berdzikir berkasih sayang dengan Allah. Dalam maqam ini, kecintaan pada selain Allah telah hilang sama sekali.
15. Maqam Fana' Fillah
Kondisi di mana rasa keinsanan seseorang melebur ke dalam rasa ketuhanan, serta secara fana melebur dalam keabadian Allah.
16. Maqam Baqa' Billah
Pencapaian tahap dzikir, di mana kehadiran hati seorang hamba hanya bersama Allah semata.
17. Tahlil Lisan
Melaksanakan dzikir Nafi Itsbat yang diucapkan secara kedengaran, atau jahar. Dzikir Tahlil Lisan ini dilaksanakan pada waktu-waktu yang telah ditetapkan oleh syaikh mursyid.
Pembacaan tidaklah berhenti pada dzikir; pembacaan aurad (Indonesia: wirid), meskipun tidak wajib, sangatlah dianjurkan. Aurad merupakan doa-doa pendek atau formula-formula untuk memuja Tuhan dan atau memuji Nabi Muhammad Saw., dan membacanya dalam hitungan sekian kali pada jam-jam yang sudah ditentukan dipercayai akan memperoleh keajaiban, atau paling tidak secara psikologis akan mendatangkan manfaat. Seorang murid dapat saja diberikan wirid khusus untuk dirinya sendiri oleh syaikhnya, untuk diamalkan secara rahasia (diam-diam) dan tidak boleh diberitahukan kepada orang lain; atau seseorang dapat memakai kumpulan aurad yang sudah diterbitkan. Naqsyabandiyah tidak mempunyai kumpulan aurad yang unik. Kumpulan-kumpulan yang dibuat kalangan lain bebas saja dipakai; dan kaum Naqsyabandiyah di tempat yang lain dan pada masa yang berbeda memakai aurad yang berbeda-beda. Penganut Naqsyabandiyah di Turki, umpamanya, sering memakai Al-Aurad Al-Fathiyyah, dihimpun oleh Syaikh Ali Hamadani, seorang sufi yang tidak memiliki persamaan sama sekali dengan kaum Naqsyabandiyah.
Pada zaman Sayyidina Abu Bakar as-Shiddiq ra. hingga zaman Syaikh Abu Yazid al-Busthami, tarekat ini dikenal dengan nama Shiddiqiyyah, amalan khususnya adalah dzikir khafi (dzikir dalam hati). Ketika dikenal dengan nama Taifuriyah, tarekat ini mengedepankan tema khusus yakni cinta dan makrifat. Periode setelahnya, Khwajaganiyah, Tarekat Naqsyabandiyah diperkuat dengan delapan asas yang dirumuskan oleh Syaikh 'Abd al-Khaliq Ghujdawani. Lalu, pada zaman ketika Naqsyabandiyah mulai menjadi nama tarekat ini, Syaikh Baha'uddin Naqsyabandi menambahkan 3 asas lagi. Asas-asas ini disebutkan satu per satu dalam banyak risalah, termasuk dalam dua kitab pegangan utama para penganut Khalidiyah, Jami al-'Ushul Fi al-'Auliya. Kitab karya Syaikh Ahmad Dhiya' al-Din Gumusykhanawi itu dibawa pulang dari Makkah oleh tidak sedikit jamaah haji Indonesia pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Kitab yang satu lagi, yaitu Tanwir al-Qulub oleh Syaikh Muhammad Amin al-Kurdi, dicetak ulang di Singapura dan di Surabaya, dan masih dipakai secara luas. Uraian dalam karya-karya ini sebagian besar mirip dengan uraian Syaikh Taj al-Din Zakarya ("Kakek" spiritual dari Syaikh Yusuf Makassar) sebagaimana dikutip Trimingham. Masing-masing asas dikenal dengan namanya dalam bahasa Parsi (bahasa para Khwajagan dan kebanyakan penganut Naqsyabandiyah India).
Asas-asasnya Syaikh 'Abd al-Khaliq adalah:
1. Hush dar dam: "sadar sewaktu bernafas"
Suatu latihan konsentrasi: sufi yang bersangkutan haruslah sadar setiap menarik nafas, menghembuskan nafas, dan ketika berhenti sebentar di antara keduanya. Perhatian pada nafas dalam keadaan sadar akan Allah, memberikan kekuatan spiritual dan membawa orang lebih hampir kepada Allah; lupa atau kurang perhatian berarti kematian spiritual dan membawa orang jauh dari Allah (al-Kurdi).
2. Nazar bar qadam: "menjaga langkah"
Sewaktu berjalan, sang murid haruslah menjaga langkah-langkahnya, sewaktu duduk memandang lurus ke depan, demikianlah agar supaya tujuan-tujuan (ruhani)-nya tidak dikacaukan oleh segala hal di sekelilingnya yang tidak relevan.
3. Safar dar watan: "melakukan perjalanan di tanah kelahirannya"
Melakukan perjalanan batin, yakni meninggalkan segala bentuk ketidaksempurnaannya sebagai manusia menuju kesadaran akan hakikatnya sebagai makhluk yang mulia. [Atau, dengan penafsiran lain: suatu perjalanan fisik, melintasi sekian negeri, untuk mencari mursyid yang sejati, kepada siapa seseorang sepenuhnya pasrah dan dialah yang akan menjadi perantaranya dengan Allah (Gumusykhanawi)].
4. Khalwat dar anjuman: "sepi di tengah keramaian"
Berbagai pengarang memberikan bermacam tafsiran, beberapa dekat pada konsep "innerweltliche askese" dalam sosiologi agama Max Weber. Khalwat bermakna menyepinya seorang pertapa, anjuman dapat berarti perkumpulan tertentu. Beberapa orang mengartikan asas ini sebagai "menyibukkan diri dengan terus menerus membaca dzikir tanpa memperhatikan hal-hal lainnya bahkan sewaktu berada di tengah keramaian orang"; yang lain mengartikan sebagai perintah untuk turut serta secara aktif dalam kehidupan bermasyarakat sementara pada waktu yang sama hatinya tetap terpaut kepada Allah saja dan selalu wara'. Keterlibatan banyak kaum Naqsyabandiyah secara aktif dalam politik dilegitimasikan (dan mungkin dirangsang) dengan mengacu kepada asas ini.
5. Yad kard: "ingat", "menyebut"
Terus-menerus mengulangi nama Allah, dzikir tauhid (berisi formula la ilaha illallah), atau formula dzikir lainnya yang diberikan oleh seorang guru, dalam hati atau dengan lisan. Oleh sebab itu, bagi penganut Naqsyabandiyah, dzikir itu tidak dilakukan sebatas berjama'ah ataupun sendirian sehabis shalat, tetapi harus terus-menerus, agar di dalam hati bersemayam kesadaran akan Allah yang permanen.
6. Baz gasyt: "kembali", "memperbarui"
Demi mengendalikan hati supaya tidak condong kepada hal-hal yang menyimpang (melantur), sang murid harus membaca setelah dzikir tauhid atau ketika berhenti sebentar di antara dua nafas, formula ilahi anta maqsudi wa ridlaka mathlubi (Ya Tuhanku, Engkaulah tempatku memohon dan keridlaan-Mulah yang kuharapkan). Sewaktu mengucapkan dzikir, arti dari kalimat ini haruslah senantiasa berada di hati seseorang, untuk mengarahkan perasaannya yang halus kepada Tuhan semata.
7. Nigah dasyt: "waspada"
Yaitu menjaga pikiran dan perasaan terus-menerus sewaktu melakukan dzikir tauhid, untuk mencegah agar pikiran dan perasaan tidak menyimpang dari kesadaran yang tetap akan Tuhan, dan untuk memelihara pikiran dan perilaku seseorang agar sesuai dengan makna kalimat tersebut. Al-Kurdi mengutip seorang guru (anonim): "Kujaga hatiku selama sepuluh hari; kemudian hatiku menjagaku selama dua puluh tahun."
8. Yad dasyt: "mengingat kembali"
Penglihatan yang diberkahi: secara langsung menangkap Dzat Allah, yang berbeda dari sifat-sifat dan nama-namanya; mengalami bahwa segalanya berasal dari Allah Yang Esa dan beraneka ragam ciptaan terus berlanjut ke tak berhingga. Penglihatan ini ternyata hanya mungkin dalam keadaan jadzbah: itulah derajat ruhani tertinggi yang bisa dicapai.
Asas-asas Tambahan dari Syaikh Baha'uddin Naqsyabandi:
1. Wuquf-i zamani: "memeriksa penggunaan waktu"
Mengamati secara teratur bagaimana seseorang menghabiskan waktunya. (Al-Kurdi menyarankan agar ini dikerjakan setiap dua atau tiga jam). Jika seseorang secara terus-menerus sadar dan tenggelam dalam dzikir, dan melakukan perbuatan terpuji, hendaklah berterima kasih kepada Allah, jika seseorang tidak ada perhatian atau lupa atau melakukan perbuatan berdosa, hendaklah ia meminta ampun kepada-Nya.
2. Wuquf-i 'adadi: "memeriksa hitungan dzikir"
Dengan hati-hati beberapa kali seseorang mengulangi kalimat dzikir (tanpa pikirannya mengembara ke mana-mana). Dzikir itu diucapkan dalam jumlah hitungan ganjil yang telah ditetapkan sebelumnya.
3. Wuquf-i qalbi: "menjaga hati tetap terkontrol"
Dengan membayangkan hati seseorang (yang di dalamnya secara batin dzikir ditempatkan) berada di hadirat Allah, maka hati itu tidak sadar akan yang lain kecuali Allah, dan dengan demikian perhatian seseorang secara sempurna selaras dengan dzikir dan maknanya. Taj al-Din menganjurkan untuk membayangkan gambar hati dengan nama Allah terukir di atasnya.
Di luar semua asas tersebut, terdapat pula dua kaidah jalan yang diperkenalkan para masyayikh tarekat setelah itu sebagai bekal perjalanan mencapai kebenaran hakiki. Keduanya adalah tarekat nafsani dan tarekat ruhani. Tarekat nafsani, mengambil pendekatan dengan mendidik diri dan menundukkan ke-aku-an, yakni ego yang ada dalam diri manusia. Dalam mengamalkan tarekat ini, seseorang harus melakukan segala sesuatu yang berlawanan dengan kehendak ego. Karenanya ia dimaknai sebagai perang atau jihad dalam diri seorang mukmin. Sedangkan tarekat ruhani berarti pensucian ruh. Hal itu dimaksudkan agar ruh yang telah disucikan mengenali hakikat diri yang sebenarnya, sehingga ego akan menuruti dan mentaatinya.
Tarekat Naqsyabandiyah memiliki tujuan menjadi kekal berkepanjangan dalam memperhambakan diri secara lahir dan batin, serta dalam menghadirkan Allah ke dalam hati. Para sufi yang mengamalkan tarekat ini tidak bertujuan menjadi mulia, kaya, sakti, dan sebagainya, melainkan untuk mendekatkan diri dan mengharap ridha Allah semata.